Meninjau Kembali Ruang Tinggal di Kota
Jumlah pinjaman dan investasi asing Indonesia dalam setidaknya 10 tahun terakhir bertumbuh sebanyak 144% dari 132.632 Juta USD menjadi 323.249 Juta USD memicu perkembangan ekonomi yang pesat di Indonesia. Dana yang utamanya mengalir ke pemilik usaha dan korporasi ini menjadi insentif bagi pebisnis untuk ekspansi dan menambah surplus.
Sektor properti yang ikut bertumbuh pesat memiliki dampak yang paling terasa dalam kehidupan penduduk di kota besar, khususnya Surabaya. Dalam segi estetika, dapat kita saksikan melalui pengalaman kota, proyek-proyek perumahan, apartemen, ruko, hotel, dsb. merayap ke atas, perlahan tapi pasti membentuk horizon Surabaya baru. Seolah mewujudkan impian bersama tentang kota metropolis a la karya fiksi Amerika dan Jepang.
Namun secara etika, ekspansi kota baik vertikal maupun horizontal ternyata tidak semerta-merta berarti bahwa jumlah ruang tinggal yang tersedia semakin banyak atau semakin terjangkau (accessible) oleh yang membutuhkan. Terlebih setelah fabrikasi ruang-ruang baru ini mendislokasikan penduduk yang mulanya berada di sana. Kesenjangan kepemilikan ruang masih dapat dirasakan dengan gejala-gejala seperti banyaknya konflik agraria, rumah-rumah investasi terlantar kosong namun kampung-kampung makin padat, harga properti yang tak terjangkau bagi mayoritas, dan lain sebagainya.
Kondisi pemukiman di ibu kota - ibu kota Indonesia sudah sampai pada titik dimana penduduk kelas menengah ke atas tidak mampu lagi membeli rumah tanpa dihisap selama sedikitnya 10 tahun, dan kelas menengah ke bawah hanya mampu menyewa ruang sembari menghadapi realita peningkatan konstan biaya kontrak yang mengakuisisi sebagian besar hasil kerja mereka.
Fenomena ini terjadi ketika produsen ruang tidak lagi menciptakan ruang dengan tujuan untuk dihuni atau disinggahi, tapi lebih untuk dijual ulang dan mencetak ROI (return of investment) atau keuntungan ekonomi darinya. Aliran modal asing dan utang yang murah membuat jumlah dan skala pemain sektor properti ini meningkat dan pada akhirnya membuat harga rumah menggelembung jauh dari nilai intrinsiknya.
Belajar dari sejarah kota-kota besar di dunia, ini sebenarnya sudah terjadi berulang kali di banyak tempat, baik negara maju atau berkembang. Fenomena rutin yang disebut property bubble (gelembung properti) ini rentan berakhir dengan krisis ekonomi berskala nasional. Dampak dari krisis ekonomi dan urban ini bahkan masih dapat disaksikan di masing-masing metropolis tersebut, seperti banyaknya tuna wisma, berkurangnya penghuni rumah berpekarangan, meningkatnya penghuni unit-unit apartemen mikro, dan makin dominannya kelas tuan tanah.
Mengetahui hal ini, kita perlu untuk setidaknya bertanya kembali tentang narasi hunian modern dan mengeksplorasi jalan alternatif masa depan kota agar tidak mengulang kesalahan yang telah dilalui kota-kota metropolitan di dunia.